Aku, Ibu dan Sang Saka Ibu melambaikan tangan memanggilku, tangannya menunjuk pada Sang Saka yang bebas berkibar di atas hembusan angin Matahari memantulkan sinar di kedua warnanya, Ibu terlihat bangga. Ibu menceritakan sebuah kisah tentang orang-orang terjajah, yang bersatu melepas belenggu

Bukan aku takingin Mengail di bening kali Melayang melepas pandang Bercanda meniti harapan Namun Sejak darah membuncah Telanjang tak berkumbah Tak tergapai Bukan aku menolak Menggigil didingin malam Menggeliat diterik panas Mengerang dinyeri luka Tapi biarkanlah Aku pernah bermimpi dalam kisi-kisi

Bang Bang! Kenangan Tahun Baru, Bang Bang! Waktu kecil dulu menjelang Tahun BaruAku mendapatkan kado kuda dan senapan usangBuatan abahkuDari pelepah pisang Bang bang!Kuberlagak bak pemburu  Bang bang!Suaranya cukup seruBang bang!Kutembak burung ituBang bang!Bunyi senapan pelepah pisangku Bertahun kini berlaluAbah tak

Seekor monyet berkata kepada seekor macan : “Langit itu hijau”. Macan menjawab : “Bukan, langit itu biru.” Perdebatan kian memanas, masing-masing ingin mempertahankan argumentasinya. Setelah lama takmenemui jalan keluar, akhirnya Monyet memutuskan untuk membawa perdebatan ini kepada Singa, Si Raja Hutan.

bulan jatuh di genteng warung kopi para lelaki perlente berdasi keluar dari gedung warna-warni lari-lari mereka serabutan, upel-upelan berteriakan berebutan memeluk bulan. bulan malu, tersipu merah dadu bulan deg-degan digoda-goda bulan cekikikan dielus-elus bulan menggeliat dipijat-pijat bulan mendesah dicium-cium bulan merintih

Photo by Ihor Malytskyi on Unsplash Puisi ini terinspirasi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi ditahun kelahiran seorang Zaldy Chan yang ber-shio kelinci dan berbintang “timbangan” Libra. Karya ini adalah koloborasi dari Widz Stoops sebagai pengubah dan pembaca puisi dan Warkasa1919 sebagai pembuat